Sah! MK Koreksi Pasal Karet UU ITE, Kritik Pemerintah Tak Bisa Dipidana
MK juga menguatkan posisi profesi seperti jurnalis. Frasa "tanpa hak" dalam Pasal 28 ayat (2) tetap dibutuhkan untuk mencegah kriminalisasi.
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengoreksi pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa kritik terhadap pemerintah, profesi, dan lembaga tak bisa dipidana pencemaran nama baik. Ini jadi angin segar bagi kebebasan berekspresi di Tanah Air.
JAKARTA — Sidang pengucapan putusan dengan Nomor 105/PUU-XXII/2024 itu digelar Selasa (29/4/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, dipimpin langsung oleh Ketua MK Suhartoyo. Permohonan ini diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, warga Karimunjawa, Jepara.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menegaskan, Pasal 27A UU ITE hanya bisa digunakan jika pencemaran dilakukan kepada individu. "Dengan demikian, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka terhadap Pasal 27A UU 1/2024 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa 'orang lain' tidak dimaknai 'kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan'," ujar Arief.
MK juga menyoroti frasa "suatu hal" dalam Pasal 27A yang dianggap multitafsir. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa frasa tersebut rawan disalahartikan jika tidak diberi batasan yang tegas. "Sementara itu, frasa 'suatu hal' dalam norma Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 harus pula dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang'," tegas Enny.
MK juga menguatkan posisi profesi seperti jurnalis, peneliti, dan penegak hukum. Frasa "tanpa hak" dalam Pasal 28 ayat (2) tetap dibutuhkan untuk mencegah kriminalisasi terhadap profesi-profesi tersebut saat menjalankan tugasnya.
Tak hanya itu, MK menggarisbawahi bahwa penyebaran informasi yang memicu kebencian harus benar-benar jelas substansinya. Tidak semua ekspresi di media sosial bisa dipidana.
"Norma Pasal 28 ayat (2) UU 1/2024 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'hanya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang secara substantif memuat tindakan/penyebaran kebencian berdasar identitas tertentu yang dilakukan secara sengaja dan di depan umum'," lanjut Enny.
Para pemohon bersama kuasanya dalam sidang Pengucapan Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, Selasa (29/4/2025). Foto Humas MK/Bay |
JAKARTA — Sidang pengucapan putusan dengan Nomor 105/PUU-XXII/2024 itu digelar Selasa (29/4/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, dipimpin langsung oleh Ketua MK Suhartoyo. Permohonan ini diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, warga Karimunjawa, Jepara.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menegaskan, Pasal 27A UU ITE hanya bisa digunakan jika pencemaran dilakukan kepada individu. "Dengan demikian, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka terhadap Pasal 27A UU 1/2024 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa 'orang lain' tidak dimaknai 'kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan'," ujar Arief.
MK juga menyoroti frasa "suatu hal" dalam Pasal 27A yang dianggap multitafsir. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa frasa tersebut rawan disalahartikan jika tidak diberi batasan yang tegas. "Sementara itu, frasa 'suatu hal' dalam norma Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 harus pula dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang'," tegas Enny.
MK juga menguatkan posisi profesi seperti jurnalis, peneliti, dan penegak hukum. Frasa "tanpa hak" dalam Pasal 28 ayat (2) tetap dibutuhkan untuk mencegah kriminalisasi terhadap profesi-profesi tersebut saat menjalankan tugasnya.
Tak hanya itu, MK menggarisbawahi bahwa penyebaran informasi yang memicu kebencian harus benar-benar jelas substansinya. Tidak semua ekspresi di media sosial bisa dipidana.
"Norma Pasal 28 ayat (2) UU 1/2024 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'hanya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang secara substantif memuat tindakan/penyebaran kebencian berdasar identitas tertentu yang dilakukan secara sengaja dan di depan umum'," lanjut Enny.
Posting Komentar