Al-Quran dan Korupsi: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 188

Sebagaimana sudah maklum bahwa Al-Quran merupakan kitab samawi terakhir, yang di antara sekian fungsinya adalah sebagai pedoman hidup manusia.
Sebagaimana sudah maklum bahwa Al-Quran merupakan kitab samawi terakhir, yang di antara sekian fungsinya adalah sebagai pedoman hidup manusia, khususnya umat Islam.

Ilustrasi

Posisinya sebagai kitab petunjuk menjadikannya mengatur seluruh lini kehidupan agar umat manusia dapat menjalani kehidupan di dunia dengan aman dan sejahtera, sehingga tidak ada permusuhan antara sesama.

Dari sekian tips yang dirumuskan oleh Al-Quran sebagai pedoman hidup adalah agar senantiasa menjaga hak orang lain, termasuk mengenai harta.

Al-Quran menegaskan bahwa dalam memenuhi kebutuhan hidup, maka sumber dan cara yang digunakan mesti melalui hal-hal yang benar.

Begitu juga harta selaku salah satu kebutuhan primer manusia harus dihasilkan dari cara yang baik.

Sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 188;

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu mem- bawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 188).

Melalui ayat ini, secara tegas Allah SWT melarang kita untuk mengonsumsi harta orang lain dengan cara-cara yang salah.

Perbuatan semacam mencuri, merampas, bermain judi, memberi dan menerima suap, dan lain sebagainya merupakan contoh cara dalam mendapatkan harta yang dilarang dengan keras. Cara-cara itu dikategorikan sebagai cara batil.

Dan sesuatu yang batil di dalam Islam seringkali muara hukumnya menjadi haram dilakukan.

Tentu saja Allah SWT mempunyai alasan logis saat menetapkan perbuatan-perbuatan yang dilarang ini.

Adapun alasan mendasarnya ialah perbuatan tersebut dapat merugikan orang lain. Orang lain akan menjadi korban sebab hartanya diambil dengan cara yang tidak benar.

Dan ini bukan saja tidak hanya benar dalam versi agama (Allah SWT) melainkan juga sejalan dengan versi fitrah manusia. Belum ada ceritanya manusia yang rela diambil hartanya, misalnya.

Begitu juga perbuatan-perbuatan yang dilarang lainnya sebagaimana disebutkan di atas.

Dengan demikian, mengambil harta orang lain -apa pun bentuknya tidak dapat dibenarkan sama sekali. Dalam hal ini misalnya seperti korupsi, yang masih merajalela hingga saat ini.

Bahkan seringkali perbuatan ini mer- ugikan banyak pihak. Jadi kerugian yang disebabkan dari perbuatan korupsi ini bukan hanya sekedar mengenai nominal harta yang diambil, melainkan juga berdampak pada nasib orang banyak.

Maka sudah tepat kiranya saat Allah SWT menggunakan kata larangan di ayat tersebut, sehingga seolah-olah hendak mempertegas betapa bahayanya perbuatan tersebut.

Apalagi jika perbuatan tersebut secara sengaja dilaporkan ke ruang pengadilan untuk mendapatkan legitimasi dari seorang hakim, hal ini tentu akan melipatgandakan kesalahan dan dosa yang ditanggungnya.

Sebagaimana di penghujung ayat tersebut, Allah SWT telah memberikan ultimatum untuk jangan sampai melakukan perbuatan tersebut.

Tentunya, penghujung ayat tersebut tidak hanya terbatas pada ‘dilaporkan’ saja, tapi juga saat ada orang lain ‘melaporkan’ namun sikap orang yang melakukan perbuatan tersebut tetap merasa tidak bersalah.

Apalagi jika sampai menyogok para penegak hukum demi meringankan hukumannya, maka konsekuensi yang akan ditanggungnya jauh lebih berat.

Dan konsekuensi ini bukan hanya akan diterima kelak di akhirat, tapi di dunia saja sudah dapat terlihat. Mulai dari penilaian negatif terhadapnya, bahkan bisa saja sampai keluarganya seperti istri dan anak-anaknya. Hal terakhir ini biasa disebut sanksi sosial, dan tak sedikit dari sanksi ini yang lebih menyakitkan daripada hukuman pengadilan itu sendiri.